19 February 2015

unconditional love

Unconditional love, sebelumnya, itu kata yang sangat asing di dalam kamus gw. Itu suatu hal yang 'mengerikan', mustahil buat gw. Dulu pandangan gw ketika mendengar unconditional love adalah bentuk kasih sayang yang cuma relevan dalam konteks hubungan darah/keluarga, pertemanan (mungkin?) dan relijiusitas (ini juga mungkin). Keluarga, jelas, apapun yang terjadi seburuk apapun (pada umumnya) keluarga kita akan selalu menerima itu, begitupun kita ke anggota keluarga yang lain. Agama? menurut gw mungkin, karena gw udah pernah melihat kok orang yang bener-bener cinta sama Tuhannya seburuk apapun hal yang dia alami, bahwa mencintai Tuhannya bukanlah kewajiban, tapi udah jadi kebutuhan utama buat dia. Kalo pertemanan, sejujurnya, masih setengah-setengah sih...seorang teman lama pernah memberikan label 'sinis' tentang pertemanan, dulu kata dia "tidak ada pertemanan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi". Somehow, gw setuju dan gak setuju sama pendapat itu. Emang sih itu cara yang sinis untuk memandang sebuah pertemanan, tapi pada umumnya memang seperti itu bukan?

Lalu, unconditional love dalam konteks romantis...itu sesuatu yang gak mungkin. At least, kalopun mungkin, gw ngerasa gw gak akan bisa melakukan itu. Dan kalopun ada, dulu gw melihatnya itu sebagai sesuatu yang...hmmm...'bodoh'? Gak realistis? Misrable? Iya, kurang lebih seperti itu.

Bahasa gampangnya, cinta tak bersyarat, hahaha, dangdut ya. Kalo dalam konteks romantis, hmmm...susah sih buat gw. Sekarang pas gw nulis ini tanggal 19 Februari 2015, jam 4.50 pagi, barusan ngobrol dengan seorang teman, ngebahas masalah ini. Dan dia juga bilang dia gak percaya (paling tidak, belum percaya) tentang unconditional love dalam konteks romantis. Pada umumnya orang akan dengan mudah mengasosiasikan unconditional love ke dalam 'cinta tak berbalas' (unrequited love). Karena ketika A mencintai B, apapun keadaannya, baik itu 'dibalas' sama B ataupun tidak, A tetap mencintai B. Gampang relate ke unrequited love kan? Dan ketika kita melihat keadaan ini, mungkin kita akan dengan mudah ngecap "A bego", "A gak realistis", "A buang-buang waktu", dan semacamnya. Iya, dulu gw pun berpendapat seperti itu.

And then, THAT time capsule arrived...such an eye opener for me

Datang tulisan-tulisan yang setiap gw baca sampe sekarang pun, gw masih deg-degan bacanya.

(sedihnya) Gw baru menyadari itu sekarang, ada orang yang selalu diam-diam berharap gw selalu bahagia dengan apa yang gw lakukan, gw bahagia dengan kehidupan gw, gw bahagia bersama siapapun yg ada di samping gw. Dan kalo diinget2 lagi, emang, dengan caranya, dia make sure bahwa gw memang bahagia, dengan siapapun gw saat itu. Not in a 'direct' way of course, but in a subtle way.

Berhubung budaya di sekitar kita lewat TV dan sinetron2, udah banyak membentuk pola pikir kita terhadap 'love' itu sendiri, plis, jangan samakan hal ini dengan "belum bisa move on", itu 2 hal yang berbeda. Jangan terkontaminasi sama pengertian dangkal budaya 'pop' tentang love yang udah sering kita temui sehari-hari, itu dangkal. Unconditional love sama istilah "belum bisa move on" itu 2 hal yang berbeda, tau apa bedanya? Ikhlas. Sounds cheesy eh? I know. Tapi ya emang sesimple itu (ternyata).

Ada orang yang (mungkin) masih punya harapan akan seseorang, tapi ketika harapan itu (entah karena hal apapun) tidak bisa terpenuhi, dia bisa ikhlas, tanpa perlu mengubah atau mereduksi niat awalnya. Dalam hal ini "I just wanna see you happy", itu bener-bener yang terjadi ya sesimple itu. Apapun keadaannya, niatnya itu, itu hal yang bisa membahagiakannya, ya itulah adanya. As simple as that.

I think that is love at its purest form...In a romantic context

And it is beautiful...kadang sesuatu yang indah itu bentuknya bisa amat sangat simpel.

Mungkin emang budaya di sekitar kita yang bikin kita sulit melihat keindahan ini, cara kita melihat sesuatu mungkin emang udah terkontaminasi oleh budaya sekitar sehari-hari, yang dangkal. Sesuatu yang sangat sederhana, tapi artinya dalem. Iya gw tau, ini konsep yang gampang diucapkan, terdengar 'too good to be true', terlalu 'surgawi' (hahaha istilah apa ini), tapi pada dasarnya ini satu hal yang sangaaaat sulit untuk bener-bener dilakukan dan dipahami. Mungkin lewat waktu yang lama, mungkin lewat hard times, dan mungkin sangat menyiksa.

Ketika gw menyadari, selain keluarga gw, bahwa ada orang yang bersikap seperti ini ke gw...gw tau ini gak akan bisa diwakili sama kata-kata sih, tapi ya, gw beruntung. Memang keadaan, dan time capsule itu yang memaksa gw untuk paham ini, dan...ehm...dengan cara yang menyiksa. Dan terus terang, hal ini memaksa gw untuk mau merombak lagi pandangan dan belief gw tentang macam-macam bentuk dari love itu sendiri. Entah, mungkin ini proses pendewasaan? Mungkin ini 'modal' yang baik untuk gw ke depannya? I don't know. Tapi gw mulai belajar dan percaya tentang unconditional love.

Anyway, gw sama sekali tidak menyangka bahwa di umur 29, banyak banget hal yang terjadi yang mengubah pandangan gw tentang banyak hal. Bikin gw untuk memeriksa lagi belief system gw tentang banyak hal. Gak semuanya terjadi dengan cara yang halus sih, bahkan jujur, lebih banyak terjadi dengan cara yang sangat menyiksa hahaha. Quarter life crisis maybe? hahaha. Tapi dari sekian banyak kejadian beruntun dari tahun lalu, akhirnya gw berpendapat bahwa mungkin ini persiapan dari Tuhan buat gw untuk memasuki umur 30 dan seterusnya, supaya gw lebih matang dan dewasa.

terakhir, izinkan gw untuk mengquote sesuatu :
You teach me how to let go and love unconditionally
Lebih tepatnya, YOU teach me and carved me into what I am now, in a good way, and (once again) I thanked you for that :)



No comments:

Post a Comment