28 July 2010

KELAMBU

Seorang pria kini sering menatapku dengan tajam
Tanpa berkata apapun, namun rautnya bercerita lebih banyak
Dia tidak dapat berbicara, meskipun mulutnya komat kamit
Dia hanya dapat mendengar, melihat, dan bercerita lewat wajahnya
Setiap hari dia tak pernah bosan menemuiku
Ketika aku tersenyum, dia pun membalas senyumanku
Aku merasa dia lebih jujur dari siapapun yang aku kenal
Mungkin karena dia tidak dapat berbicara, entahlah
 Beberapa hari belakangan, dia nampak kurang sehat
Matanya sayu, kemilau gembira di matanya sedikit meredup
Hanya sesekali tampak bersinar, ketika aku menceritakan seseorang
Aku rasa matanya sayu bukan karena dia sakit
Namun aku rasa karena dia ‘sakit’
Matanya seperti berbayang, Nampak kelabu, Nampak mendung
Seperti hujan di ujung tanduk
Dia tidak tampan, cenderung biasa saja
Wajahnya tidak seperti batu pualam yang halus dan mengkilap
Banyak guratan-guratan kasar di wajahnya
Entah karena memang tanda kedewasaan dia, entah karena luka-luka yang tertoreh
Namun, guratan-guratan itu seperti menegaskan bahwa dia telah pergi ke banyak tempat
Sepertinya kehidupan telah memahat kisahnya di wajah pria ini, dengan membabi buta
Kini wajahnya tampak keras, seperti batu karang
Wajahnya lebih Nampak seperti sebuah perisai yang telah melalui pembantaian masal
Keras, seperti tanpa perasaan, seperti sesuatu yang sangat kokoh
Seperti seorang pembunuh, seorang tanpa perasaan sama sekali, kebal terhadap sakit
Namun semua kesan akan berubah ketika engkau menembus kabut
Kabut yang menutupi matanya, seperti kelambu menutup tidur sang bayi malang
Setelah kuperhatikan dengan seksama, dengan menatap balik matanya yang tajam
Aku mulai melihat, bahwa sebenarnya dia sangat kesepian
Kadang aku melihat keputus asaan, kadang dia seperti berkata bahwa
“aku seperti badai salju yang tak akan pernah melihat gurun sahara”
Walaupun dia tidak dapat berbicara aku tahu dia merindukan sesuatu
Dia merindukan kedamaian, dimana dia dapat tidur di padang rumput
Sambil mendengarkan burung bernyanyi, dan mendengar musik
Dia merindukan sebuah lengan yang lembut membelai wajahnya yang kasar
Dia berharap lengan tersebut mau menyentuh bibirnya yang kering
Dia berharap lengan tersebut mau membelai rambutnya dengan lembut
Dia ingin tertidur di pangkuan pemilik lengan itu
Tertidur nyenyak dengan tenang seperti anak kecil yang kelelahan bermain
“Ah, pria yang malang” begitu pikirku ketika aku menatapnya
Beberapa hari aku tidak melihatnya
Nampaknya dia sedang melakukan sesuatu
Namun kemudian aku bertemu dia lagi
Kini rambutnya di kepala dan di wajah Nampak lebih panjang
Nampak tak terurus, berantakan dan berminyak, Nampak kacau
Rambut putih pun terlihat semakin banyak di kepalanya
Mungkin warna putih itu yang menandakan kebaikan yang telah dia pelajari
Aku harap begitu, “kasihan dia” kataku dalam hati
Pagi ini, aku sedang bersiap untuk menjalankan aktivitasku
“apakah aku akan bertemu pria itu pagi ini?”
“akan seperti apa raut mukanya pagi ini?”
Begitu, aku bertanya-tanya dalam hatiku
Aku mengambil sisir untuk merapikan rambutku
Dan tak lama kemudian aku bertemu kembali dengan pria itu seperti hari biasanya

3 comments: